Fikray El-Habib Assyirboni

Belajarlah dan terus belajar maka engkau akan terus mendapatkan banyak hal dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan

Ideologi merupakan sebuah ajaran berfikir yang bisa digunakan dan diterapkan didalam kehidupan. Selain itu juga, kajian berfikir telah ada didalam berbagai disiplin ilmu yang banyak sekali menerangkan tentang ideologi tersebut. Seperti halnya Ilmu Mantiq yang merupakan didalamnya terdapat ilmu yang menerangkan tentang bagaimana berfikir statis menjadi sintesis yang merupakan dibutuhkan oleh setiap manusia. Seperti objek kajiannya ilmu mantiq yang dimana sesungguhnya sesuatu disiplin ilmu tersebut paling tidak harus memiliki sepeuluh aspek dasar yang dimana diantaranya adalah pengertian, objeknya, kegunaannya, keutamaannya, hubungan dengan ilmu lain, letak dasar penyusunannya, nama, pengambilan, hukum untuk mempelajarinya, dan problematikanya[1].
Ideologi digunakan sebagai landasan berfikir masyarakat adalah ideologi juga seperti keterangan ilmu manthiq yang diatas. Sebab jika masyarakat berfikir tidak menggunakan salah satu 10 aspek dasar diatas, maka masyarakat tersebut tidak akan mempunyai kaidah objek ide yang akan diterapkan didalam kehidupannya. Contoh seperti sosok kyai sahal yang berusaha mendobrak kebekuan, kemiskinan, dan juga keterbelakangan yang membuat Kiai sahal pendobrak dari bawah untuk memajukan masyarakatnya. Yang diantaranya adalah suatu usaha yang dikembangkan oleh Kiai Sahal adalah mendirikan suatu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bernama BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang dimana adalah starting point Kiai Sahal untuk mendobrak kemiskinan dan keterbelakangan dilingkungannya[2].
Kita bisa membuat suatu ideologi menjadikan ajaran seperti yang diterapkan oleh Kiai Sahal tersebut. Karena jika bisa mengoptimalkan suatu objek yang terdapat dalam kajian ideologi, maka suatu kajian ideologi tersebut akan berjalan dengan sendirinya dan juga atas usahanya untuk melakukan sebuah perubahan untuk kemajuannya. Sebab, ideologi merupakan ilmu yang digunakan untuk memaksimalkan suatu kaidah berfikir yang baik dan menyerap ajaran-ajaran yang layak untuk diterapkan didalam kehidupannya. Sebab ideologi merupakan gabungan dua kata yang dimana diambil dari bahasa latin yaitu “Idea” yang berarti “Ide atau gagasan”. Maka dengan kata lain ide merupakan rancangan atau susunan yang terdapat didalam pikirannya. Sehingga rancangan tersebut dapat diterapkan dan juga diterima oleh kalangan masyarakat. Selanjutnya kata kedua adalah “Logos” yang berarti “ajaran”. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa ajaran tersebut merupakan berawal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui. Maka secara tidak langsung adalah ideologi tersebut merupakan ajaran yang didapatkan dari sebuah ide dan diterapkan didalam kehidupannya.
Selain itu, dari kaidahnya ideologi banyak sekali yang mengartikannya yang sehingga banyak sekali paham-paham ideologi yang bermunculan. Maka dengan banyaknya paham-paham ideologi yang terdapat dalam masyarakat, maka tidak sedikit pertentangan yang terdapat didalam masyarakat. Seperti halnya pertentangan yang dilakukan oleh kelompok sosialisme dan juga kelompok kapitalisme. Kelompok sosialisme merupakan kelompok yang berpaham sosialis, yaitu kelompok yang saling peduli terhadap satu sama lainnya. Berbeda dengan kaum sosialis, kaum kapitalisme merupakan kaum yang sangat dimusuhi oleh para masyarakat. Sebab kaum tersebut menggunakan sistem siapa yang lebih kuat maka dia yang berkuasa.
Semuanya tersebut merupakan terjadi karena datang dari tiap diri manusia. Sebab setiap diri manusia mempunyai hawa nafsu yang sangat besar didalam dirinya. Hawa nafsu merupakan suatu kekuatan yang selalu menyimpan potensi destruktif dan juga membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak pernah tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar. Siapa pun yang telah menjinakkan hawa nafsunya, dia akan tenang dan mampu menggunakan nafsunya untuk melakukan aktifitas dan atau mencapai tujuan-tujuan luhur[3]. Sehingga, kaum-kaum kapitalisme tidak akan terjadi didalam lingkungan masyarakat sekitar.
Banyak masyarakat yang tidak bisa lepas dari yang namanya ideologi. Sebab ideologi merupakan sebuah landasan untuk dijadikan pegangan hidup agar bisa menjalani kehidupan yang diinginkannya. Ideologi merupakan pada intinya adalah hasil dari ciptaan suatu pemikiran yang dihasilkan dari perenungan dan diterapkan didalam kehidupannya. Seperti pendapat aliran idealisme yang menyatakan bahwa berbuat baik adalah bukan didasarkan atas kehendak mencapai tujuan diluar kebaikan itu, melainkan karena tidakan seseorang sudah dipandang baik[4]. Sesungguhnya pendapat yang seperti itu merupakan suatu pendapat yang sangat banyak dilakukan oleh kaum sosialis yang merupakan kaum tersebut merupakan kaum yang sangat peduli terhadap sesama. Dibalik semua itu, bukan cuma hanya kaum sosialis yang mempunyai sifat seperti itu, kaum kapitalis juga banyak yang menganut seperti itu. Tetapi kaum tersebut juga menggunakan kepedulian tetapi kepedulian tersebut mengandung sangat madharat karena hanya memihak terhadap satu pihak dan tidak memikirkan pihak yang lain.
Selain itu, bukan cuma hanya paham atau aliran yang muncul, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan sebagai penunjang ideologi yang terdapat didalam masyarakat tersebut. Pengetahuan tersebut harus dibuat oleh gagasan-gagasan atau falsafah yang sangat menunjang untuk kehidupan. Abu Ya’qub al-Kindi (188-260 H/803/873 M) Filosof muslim pertama yang mendefinisikan falsafah yaitu pengetahuan tentang realitas atau hakikat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan praktis adalah bertingkah laku sesuai kebenaran[5]. Sehingga, masyarakat bisa mencapai pemikiran yang kritis dan juga tidak mudah bergantungan terhadap orang lain. Masyarakat bertingkah laku bukan cuma hanya sesuai kebenaran, tetapi juga masyarakat mampu benar-benar menerapkan dan mempertanggung jawabkan apa atas tingkah lakunya.
Disamping itu juga, ideologi bisa diartikan juga sebagai hasil dari sebuah gagasan atau ide yang telah direnungkan oleh manusia dan diterapkan dalam kehidupannya. Sebab manusia selalu berfikir dan tidak akan berhenti berfikir kecuali kematian. Meskipun kita dapat beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki kehendak murni (pure will), sejak mereka dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan motif-motif indriawi kita dapat menganggap mereka memiliki kehendak suci (holly will), kehendak menolak maksim (ajaran ringkas) apa pun yang bertentangan dengan hukum moral tersebut[6]. Maka manusia bukan cuma hanya dapat untuk mengabulkan semua keinginannya tetapi bagaimana memaksimalkan untuk menerapkan pemahaman pemikiran tersebut menjadi sesuatu yang dapat diterapkan dalam masyarakat yang luas.
Selain itu, bagaimana mengarahkan ideologi menjadi hal-hal yang positif dan juga menjadi kreatif yang bisa menjadikan masyarakat yang terbeda dan tidak menjadi suatu kaum yang bersifat sama. Seperti dalam hal pemikiran, kreatifitas dan juga pembicaraan atau perkataan. Tentang retorika, perhatikan ayat berikut ini, “Berilah nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa. (qaulan baligha) (QS.An-Nisa:63). Simak pula sabda Nabi yang memperteguh ayat ini, “Inna ba’dha al-byani lashirun. Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik terdapat kekuatan sihir”[7]. Maka bagaimana masyarakat bisa menguasai berbagai hal pemikiran seperti tokoh filsafat Yunani Socrates, Plato, Aristoteles, dsb yang mampu membuat mengajak masyarakat berfikir kritis pada masanya tentang kehidupan siapakah yang membuat dan kenapa dia hidup didunia ini. Kreatifitas itu bagaimana masyarakat bisa menghasilkan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar seperti contoh tokoh-tokoh muslim seperti Ibnu Sina yang mampu menghasilkan ilmu kedokterannya yang mampu membuat masyarakat banyak yang terkagum-kagum akan hal ilmu kedokteran tersebut dengan kreatifitasnya. Disamping itu masyarakat diajak berkata atau berbicara dengan baik seperti seorang Hitler yang beranggapan bahwa “setiap gerakan besar didunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh ahli jago-jago tulisan”[8]. Maka tidak heran seperti Soekarno yang berpidato lantang melawan penjajahan yang bisa membuat berkobar masyarakat Indonesia pada masa penjajahan untuk berani berontak melawan penjajahan.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instinktif ini di imbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik[9]. Sehingga manusia mempunyai ideologi yang harus dijalankan dengan adanya bantuan dari luar. Bukan cuma hanya sekedar mengandalkan sifat bertindak dari instink, tetapi manusia tersebut mampu belajar dengan caranya sendiri tanpa adanya kesadaran dari orang lain. Sebab manusia yang telah dijelaskan adalah manusia merupakan makhluk sosial yang berkomunikasi dan tidak bisa hidup secara individualisme. Dan juga manusia bisa menguasai objek-objek yang dihadapinya, bukan cuma hanya objek yang terdapat pada faktor internal, tetapi juga objek yang terdapat dalam faktor eksternal.
Disamping itu, masyarakat yang terdapat didalam perkotaan maupun didalam pedesaan masih sangat mempunyai sifat egois yang membuat ideologi menurut kedua masyarakat tersebut berpendabat bahwa ideologi mereka merupakan yang paling benar. Seperti yang dikutip oleh ramalan Max Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunisalisme. Yang mebuat tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasional instrumental. Sehingga, Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut kedalam tiga ranah[10] yaitu pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Contohnya adalah seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemonstrasi mengganggu kelangsungan produksi. Akibatnya, perusahaan tidak bisa memproduksi barang dan mengalami kerugian besar, yang akibatnya akan diderita oleh buruh sendiri.
Kedua, sistem kepercayaan yang dibuat –ide palsu atau kesadaran palsu- yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi disini bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran. Contohnya adalah berita mengenai pencuri yang berasal dari kelompok bawah kita terima sebagai suatu yang nyata, kita tidak merasa heran dan aneh. Seakan memang pencuri selalu dari kelas bawah, atau memang masyarakat miskin selalu berperilaku seperti itu. Berita mengenai penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat miskin juga kita terima sebagai suatu kebenaran, kia tidak merasa aneh. Seakan memang kelompok bawah ditakdirkan untuk menjadi penjarah.
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Bagaimana ideologi ini bekerja dalam memproduksi makna dapat dilihat dari bagaimana tindakan masyarkat dan pengusaha itu digambarkan dan bagaimana posisi kelompok yang diposisikan dimasyarakat.
Sehingga dalam konsepsi Marx ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah[11].




[1] Syekh Khatab Umar al-Darwis, “Tagrir Syarah Matn al-Sulam al-Manthiq”, hlm 7
[2] Jamal Ma’mur Asmani, “Fiqh Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi”, hlm xi, Khalista. Surabaya
[3] KH. Abdurrahman Wahid, “Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, Jakarta. 2009
[4] Drs. Muhammad Alfan, M.Ag., “Filsafat Etika Islam”, hlm. 45, Pustaka Setia. Bandung. 2011
[5] Dr. Syaifan Nur, M.A., “Filsafat Wujud Mulla Sadra”, hlm. 99, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002
[6] Immanuel Kant, “Critique Of Practical Reason”, hlm. 53, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005
[7] Jalaluddin Rakhmat, “Retorika Modern: Pendekatan Praktis”, Kata Pengantar, Rosda Karya. Bandung. 2000
[8] Fauz Noor, “Berfikir Seperti Nabi”, hlm. 381, LkiS. Yogyakarta. 2009
[9] Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”, hlm. 262, Sinar Harapan. Jakarta
[10] Eriyanto, “Analisis Wacana, PengantarAnalisis Teks Media”, hlm. 87. LkiS, Yogyakarta. 2011.
[11] Ibid., hlm. 93

0 komentar:

Posting Komentar

Social Media

Google+ Twitter Facebook Instagram Yahoo

BloGoblog

Ini blog bukan hanya sekedar blog.
Didalamnya terdapat ilmu yang mungkin sedikit namun bermanfaat untuk kedepannya.
Kalaupun ada kekurangan tolong ditambahkan ya dan kalau pun kurang sempurna mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanya milik-Nya.