Ideologi merupakan sebuah ajaran berfikir yang bisa digunakan dan
diterapkan didalam kehidupan. Selain itu juga, kajian berfikir telah ada
didalam berbagai disiplin ilmu yang banyak sekali menerangkan tentang ideologi
tersebut. Seperti halnya Ilmu Mantiq yang merupakan didalamnya terdapat ilmu
yang menerangkan tentang bagaimana berfikir statis menjadi sintesis yang
merupakan dibutuhkan oleh setiap manusia. Seperti objek kajiannya ilmu mantiq
yang dimana sesungguhnya sesuatu disiplin ilmu tersebut paling tidak harus
memiliki sepeuluh aspek dasar yang dimana diantaranya adalah pengertian,
objeknya, kegunaannya, keutamaannya, hubungan dengan ilmu lain, letak dasar
penyusunannya, nama, pengambilan, hukum untuk mempelajarinya, dan
problematikanya[1].
Ideologi digunakan sebagai landasan berfikir masyarakat adalah
ideologi juga seperti keterangan ilmu manthiq yang diatas. Sebab jika
masyarakat berfikir tidak menggunakan salah satu 10 aspek dasar diatas, maka
masyarakat tersebut tidak akan mempunyai kaidah objek ide yang akan diterapkan
didalam kehidupannya. Contoh seperti sosok kyai sahal yang berusaha mendobrak
kebekuan, kemiskinan, dan juga keterbelakangan yang membuat Kiai sahal
pendobrak dari bawah untuk memajukan masyarakatnya. Yang diantaranya adalah
suatu usaha yang dikembangkan oleh Kiai Sahal adalah mendirikan suatu LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bernama BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat) yang dimana adalah starting point Kiai Sahal untuk mendobrak
kemiskinan dan keterbelakangan dilingkungannya[2].
Kita bisa membuat suatu ideologi menjadikan ajaran seperti yang
diterapkan oleh Kiai Sahal tersebut. Karena jika bisa mengoptimalkan suatu
objek yang terdapat dalam kajian ideologi, maka suatu kajian ideologi tersebut
akan berjalan dengan sendirinya dan juga atas usahanya untuk melakukan sebuah
perubahan untuk kemajuannya. Sebab, ideologi merupakan ilmu yang digunakan
untuk memaksimalkan suatu kaidah berfikir yang baik dan menyerap ajaran-ajaran
yang layak untuk diterapkan didalam kehidupannya. Sebab ideologi merupakan
gabungan dua kata yang dimana diambil dari bahasa latin yaitu “Idea”
yang berarti “Ide atau gagasan”. Maka dengan kata lain ide merupakan
rancangan atau susunan yang terdapat didalam pikirannya. Sehingga rancangan
tersebut dapat diterapkan dan juga diterima oleh kalangan masyarakat. Selanjutnya
kata kedua adalah “Logos” yang berarti “ajaran”. Didalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa ajaran tersebut merupakan berawal dari
kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui.
Maka secara tidak langsung adalah ideologi tersebut merupakan ajaran yang
didapatkan dari sebuah ide dan diterapkan didalam kehidupannya.
Selain itu, dari kaidahnya ideologi banyak sekali yang
mengartikannya yang sehingga banyak sekali paham-paham ideologi yang
bermunculan. Maka dengan banyaknya paham-paham ideologi yang terdapat dalam
masyarakat, maka tidak sedikit pertentangan yang terdapat didalam masyarakat. Seperti
halnya pertentangan yang dilakukan oleh kelompok sosialisme dan juga kelompok
kapitalisme. Kelompok sosialisme merupakan kelompok yang berpaham sosialis,
yaitu kelompok yang saling peduli terhadap satu sama lainnya. Berbeda dengan
kaum sosialis, kaum kapitalisme merupakan kaum yang sangat dimusuhi oleh para
masyarakat. Sebab kaum tersebut menggunakan sistem siapa yang lebih kuat maka
dia yang berkuasa.
Semuanya tersebut merupakan terjadi karena datang dari tiap diri
manusia. Sebab setiap diri manusia mempunyai hawa nafsu yang sangat besar
didalam dirinya. Hawa nafsu merupakan suatu kekuatan yang selalu menyimpan
potensi destruktif dan juga membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak
pernah tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar.
Siapa pun yang telah menjinakkan hawa nafsunya, dia akan tenang dan mampu
menggunakan nafsunya untuk melakukan aktifitas dan atau mencapai tujuan-tujuan
luhur[3]. Sehingga,
kaum-kaum kapitalisme tidak akan terjadi didalam lingkungan masyarakat sekitar.
Banyak masyarakat yang tidak bisa lepas dari yang namanya ideologi.
Sebab ideologi merupakan sebuah landasan untuk dijadikan pegangan hidup agar
bisa menjalani kehidupan yang diinginkannya. Ideologi merupakan pada intinya
adalah hasil dari ciptaan suatu pemikiran yang dihasilkan dari perenungan dan
diterapkan didalam kehidupannya. Seperti pendapat aliran idealisme yang
menyatakan bahwa berbuat baik adalah bukan didasarkan atas kehendak mencapai
tujuan diluar kebaikan itu, melainkan karena tidakan seseorang sudah dipandang
baik[4].
Sesungguhnya pendapat yang seperti itu merupakan suatu pendapat yang sangat
banyak dilakukan oleh kaum sosialis yang merupakan kaum tersebut merupakan kaum
yang sangat peduli terhadap sesama. Dibalik semua itu, bukan cuma hanya kaum
sosialis yang mempunyai sifat seperti itu, kaum kapitalis juga banyak yang
menganut seperti itu. Tetapi kaum tersebut juga menggunakan kepedulian tetapi
kepedulian tersebut mengandung sangat madharat karena hanya memihak terhadap
satu pihak dan tidak memikirkan pihak yang lain.
Selain itu, bukan cuma hanya paham atau aliran yang muncul, tetapi
juga pengetahuan-pengetahuan sebagai penunjang ideologi yang terdapat didalam
masyarakat tersebut. Pengetahuan tersebut harus dibuat oleh gagasan-gagasan
atau falsafah yang sangat menunjang untuk kehidupan. Abu Ya’qub al-Kindi
(188-260 H/803/873 M) Filosof muslim pertama yang mendefinisikan falsafah yaitu
pengetahuan tentang realitas atau hakikat segala sesuatu sebatas yang
memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis
adalah untuk mencapai kebenaran dan praktis adalah bertingkah laku sesuai
kebenaran[5].
Sehingga, masyarakat bisa mencapai pemikiran yang kritis dan juga tidak mudah
bergantungan terhadap orang lain. Masyarakat bertingkah laku bukan cuma hanya
sesuai kebenaran, tetapi juga masyarakat mampu benar-benar menerapkan dan
mempertanggung jawabkan apa atas tingkah lakunya.
Disamping itu juga, ideologi bisa diartikan juga sebagai hasil dari
sebuah gagasan atau ide yang telah direnungkan oleh manusia dan diterapkan
dalam kehidupannya. Sebab manusia selalu berfikir dan tidak akan berhenti
berfikir kecuali kematian. Meskipun kita dapat beranggapan bahwa manusia
sebagai makhluk rasional memiliki kehendak murni (pure will), sejak mereka
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan motif-motif indriawi kita dapat
menganggap mereka memiliki kehendak suci (holly will), kehendak menolak maksim
(ajaran ringkas) apa pun yang bertentangan dengan hukum moral tersebut[6]. Maka
manusia bukan cuma hanya dapat untuk mengabulkan semua keinginannya tetapi
bagaimana memaksimalkan untuk menerapkan pemahaman pemikiran tersebut menjadi
sesuatu yang dapat diterapkan dalam masyarakat yang luas.
Selain itu, bagaimana mengarahkan ideologi menjadi hal-hal yang
positif dan juga menjadi kreatif yang bisa menjadikan masyarakat yang terbeda
dan tidak menjadi suatu kaum yang bersifat sama. Seperti dalam hal pemikiran,
kreatifitas dan juga pembicaraan atau perkataan. Tentang retorika, perhatikan
ayat berikut ini, “Berilah nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan
pembicaraan yang menyentuh jiwa. (qaulan baligha) (QS.An-Nisa:63). Simak pula
sabda Nabi yang memperteguh ayat ini, “Inna ba’dha al-byani lashirun.
Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik terdapat kekuatan sihir”[7]. Maka
bagaimana masyarakat bisa menguasai berbagai hal pemikiran seperti tokoh
filsafat Yunani Socrates, Plato, Aristoteles, dsb yang mampu membuat mengajak
masyarakat berfikir kritis pada masanya tentang kehidupan siapakah yang membuat
dan kenapa dia hidup didunia ini. Kreatifitas itu bagaimana masyarakat bisa
menghasilkan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar seperti
contoh tokoh-tokoh muslim seperti Ibnu Sina yang mampu menghasilkan ilmu
kedokterannya yang mampu membuat masyarakat banyak yang terkagum-kagum akan hal
ilmu kedokteran tersebut dengan kreatifitasnya. Disamping itu masyarakat diajak
berkata atau berbicara dengan baik seperti seorang Hitler yang beranggapan
bahwa “setiap gerakan besar didunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan
bukan oleh ahli jago-jago tulisan”[8]. Maka
tidak heran seperti Soekarno yang berpidato lantang melawan penjajahan yang
bisa membuat berkobar masyarakat Indonesia pada masa penjajahan untuk berani
berontak melawan penjajahan.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instinktif ini di imbangi
oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai
objek-objek yang bersifat fisik[9].
Sehingga manusia mempunyai ideologi yang harus dijalankan dengan adanya bantuan
dari luar. Bukan cuma hanya sekedar mengandalkan sifat bertindak dari instink,
tetapi manusia tersebut mampu belajar dengan caranya sendiri tanpa adanya
kesadaran dari orang lain. Sebab manusia yang telah dijelaskan adalah manusia
merupakan makhluk sosial yang berkomunikasi dan tidak bisa hidup secara
individualisme. Dan juga manusia bisa menguasai objek-objek yang dihadapinya,
bukan cuma hanya objek yang terdapat pada faktor internal, tetapi juga objek
yang terdapat dalam faktor eksternal.
Disamping itu, masyarakat yang terdapat didalam perkotaan maupun
didalam pedesaan masih sangat mempunyai sifat egois yang membuat ideologi
menurut kedua masyarakat tersebut berpendabat bahwa ideologi mereka merupakan
yang paling benar. Seperti yang dikutip oleh ramalan Max Weber yang
memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi dalam mengganti segala bentuk
sentimen ideologis, tradisi, dan komunisalisme. Yang mebuat tuah agama, dalam
abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis sebagai
perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasional instrumental.
Sehingga, Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut
kedalam tiga ranah[10] yaitu
pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu.
Contohnya adalah seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu
mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemonstrasi
mengganggu kelangsungan produksi. Akibatnya, perusahaan tidak bisa memproduksi
barang dan mengalami kerugian besar, yang akibatnya akan diderita oleh buruh
sendiri.
Kedua, sistem kepercayaan yang dibuat –ide palsu atau kesadaran
palsu- yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam
pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu
dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untk mendominasi
kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi disini bekerja dengan membuat
hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar dan alamiah, dan tanpa sadar kita
menerima sebagai kebenaran. Contohnya adalah berita mengenai pencuri yang
berasal dari kelompok bawah kita terima sebagai suatu yang nyata, kita tidak
merasa heran dan aneh. Seakan memang pencuri selalu dari kelas bawah, atau
memang masyarakat miskin selalu berperilaku seperti itu. Berita mengenai
penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat miskin juga kita terima sebagai suatu
kebenaran, kia tidak merasa aneh. Seakan memang kelompok bawah ditakdirkan
untuk menjadi penjarah.
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Bagaimana ideologi
ini bekerja dalam memproduksi makna dapat dilihat dari bagaimana tindakan
masyarkat dan pengusaha itu digambarkan dan bagaimana posisi kelompok yang
diposisikan dimasyarakat.
Sehingga dalam konsepsi Marx ideologi adalah sebentuk kesadaran
palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan
dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi masyarakat, tidak oleh
biologi yang alamiah[11].
[1] Syekh
Khatab Umar al-Darwis, “Tagrir Syarah Matn al-Sulam al-Manthiq”, hlm 7
[2] Jamal
Ma’mur Asmani, “Fiqh Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi”,
hlm xi, Khalista. Surabaya
[3] KH.
Abdurrahman Wahid, “Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia”, Jakarta. 2009
[4] Drs.
Muhammad Alfan, M.Ag., “Filsafat Etika Islam”, hlm. 45, Pustaka Setia.
Bandung. 2011
[5] Dr.
Syaifan Nur, M.A., “Filsafat Wujud Mulla Sadra”, hlm. 99, Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. 2002
[6] Immanuel
Kant, “Critique Of Practical Reason”, hlm. 53, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2005
[7] Jalaluddin
Rakhmat, “Retorika Modern: Pendekatan Praktis”, Kata Pengantar, Rosda
Karya. Bandung. 2000
[8] Fauz
Noor, “Berfikir Seperti Nabi”, hlm. 381, LkiS. Yogyakarta. 2009
[9] Jujun S.
Suriasumantri, “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”, hlm. 262,
Sinar Harapan. Jakarta
[10]
Eriyanto, “Analisis Wacana, PengantarAnalisis Teks Media”, hlm. 87.
LkiS, Yogyakarta. 2011.
[11] Ibid.,
hlm. 93
0 komentar:
Posting Komentar