Fikray El-Habib Assyirboni

Belajarlah dan terus belajar maka engkau akan terus mendapatkan banyak hal dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tarekat datang ke Indonesia dibawakan oleh para alim’ulama dari kawasan tanah Arab. Tarekat sendiri berkembang sebab tarekat sendiri merupakan cara untuk bisa mendekatkan diri kepada sang pencipta. Tarekat sendiri merupakan berasal dari bahasa arab "طريقة" yang berarti “jalan”. Tarekat sendiri merupakan sudah ada sejak setelah zaman para tabi’in, tabi’it tabi’in. Tarekat sendiri merupakan salah satu dalam pembaharu islam dan juga tidak menyimpang dalam agama islam. Sebab tarekat sendiri membantu untuk manusia mendekatkan diri kepada sang pencipta-Nya.
Tarekat di Indonesia sangat bermacam-macam yang diantaranya adalah tarekat Syadzaliah, Qadariyah, Naqsabandiyah, Tijaniyah dan lain-lain. Diantara tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia, banyak tarekat-tarekat yang mungkin sebagian orang belum mengetahui dan juga orang awam masih belum mengetahui untuk apa tarekat di Indonesia tersebut dan apa kegunaannya. Salah satu yang telah diulas dan telah di cerna kegunaan dan perkembangan tarekat di Indonesia adalah tarekat tijaniyah yang telah ada sejak dahulu di daerah Buntet Pesantren Cirebon.
Kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW tentu saja tidak ingin jika kita jauh dari sang pencipta-Nya. Karena agar kita tidak jauh dengan sang pencipta-Nya adalah dengan adanya tarekat-tarekat di Indonesia juga disamping itu kita membutuhkan pembimbing atau guru spiritual agar tidak salah kaprah dalam menafsirkan suatu ilmu yang masih belum kira ketahui. Untuk lebih jelasnya kita bisa membahas lebih jauh salah satu tarekat yang berada dikawasan pesantren yang tertua dikawasan Pulau Jawa dan juga ciri khas dalam pesantren tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tarekat tijaniyah?
2.      Apa yang dibawakan tarekat tijaniyah untuk masyararakat sekitar?
3.      Bagaimanakah dengan adany tarekat disekitar?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Agar umat tahu jikalau tarekat itu penting untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.      Supaya umat tidak salah langkah untuk mempelajari tarekat yang akan dipelajari dan untuk kedepannya.



BAB II PEMBAHASAN
A.    Awal Mula Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad At-Tijani. Beliau lahir pada dekitar tahun 1150 H (1737 M) di daerah ‘Ain Madi yaitu merupakan sebuah desa di negara Al-Jazair. Syaikh Tijani juga merupaka masih satu keturunan atau nasabnya sampai kepada Rasullullah SAW yang berasal dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasullullah SAW.
 Nama lengkap beliau adalah Abu Al-Abbas Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Mukhtar Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Salam Ibnu Abi Al-Id Ibnu Salim Ibnu Ahmad Al-‘Alawi Ibnu Ali Ibnu Abdullah Ibnu Abbas Ibnu Abdul Jabbar Ibnu Idris Ibnu Ishak Ibnu Zainal Abidin Ibnu Muhammad Al-Nafs Al-Azkiyah Ibnu Abdullah Al-Kamil Ibnu Hasan Al-Musana Ibnu Hasan Al-Sibti Ibnu Ali Ibnu Abi Thalib.
Beliau lalu meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Syawal 1230 H lalu beliau dimakamkan di kota Fez, Maroko. Sejak kecil, Syeikh Ahmad At-Tijani telah mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti ilmu Ushul, Fiqih, dan Sastra. Kemudian setelah belau telah menginjak usia 7 tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an. Dikisahkan saat beliau usianya masih menginjak usia remaja,Syaikh Ahmad At-Tijani telah mahir menguasai berbagai ilmu agama Islam. Sehingga sebelum berumur genap 20 tahun, beliau sudah mengajar dan juga memberikan fatwa tentang berbagai masalah agama yang ada dikalangan masyarakat awam.
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H, Syaikh Ahmad At-Tijani pindah ke kota Feiz, Maroko untuk memperdalam ilmu tasawuf. selama di kota ini, beliau menekuni ilmu tasawwuf melalui kitab Futuhat Al-Makiyyah dibawah bimbingan Al-Thayyib Ibn Muhammad Al-Yamhali dan Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Wanjali. Al-Wanjali berkata kepada Syaikh Tijani “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam Abu Hasan As-Syadzali (pendiri tarekat syadzaliyah)[1]”.
Ketika memasuki usia 31 tahun, Syaikh Ahmad Tijani mulai mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah SWT melalui amalan beberapa tarekat. Tarekat pertama yang diamalkannya adalah Tarekat Qadariyah. Kemudian Tarekat Nasariyah dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah. Selanjutnya beliau mengamalkan ajaran tarekat Ahmad Al-Habib Ibn Muhammadan, Tarekat Tawasiyah. Setelah itu beliau pindah ke zawiyah (pesantren sufi)  Syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad Al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H, beliau pergi menunaikan ibadah haji. Ketika tiba di Aljazair, saat berjumpa dengan Sayyid Ahmad Ibn Abdul Rahman Al-Azhari, seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah, beliau langsung mendalami ajaran tarekat ini. Kemudian Syaikh Tijani berangkat ke Tunisia dan menjumpai seorang wali bernama Syaikh Abdul Samad Al-Rahawi. Di kota ini, beliau mempelajari Tarekat secara lebih intensif sambil mengajarkna tasawuf.[2]
B.     Perkembangan Tarekat Tijaniyah Di Indonesia
Tarekat Tijaniyah masuk ke Indonesia sekitar pada abad 20 yaitu antara tahun 1918 dan 1921 Masehi. Ada terdapat 2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu pertama kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah at-Thayyib, dan kedua adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon.[3]
Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah.  Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon mulanya ber pusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya. Atas perintah KH Abbas pada 1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin tarekat Tijaniyah dan bermukim disana selama 3 tahun. Pada bulan Muharram 1346 H / Juli 1927 M. KH Anas kembali pulang ke Cirebon. Kemudian, pada bulan Rajab 1346 H / Desember 1927, atas izin KH Abbas kakaknya, KH Anas menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH Anas-lah yang merintis dan memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H Anas mengambil talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula menganut tarekat Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada tarekat Tijaniyah dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah at-Thayyib yang juga mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.[4]
Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke 3 tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa tarekat Tijaniyah adalah Muktabarah dan sah. Diperkuat lagi dengan Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon yang intinya tetap memutuskan bahwa Tijaniyah adalah Muktabaroh. Jadi ditinjau dari keputusan NU maka tarekat Tijaniyah sudah ada di Indonesia sebelum tahun 1928, karena jikalau belum hadir di Indonesia maka tidak mungkin NU akan membahas dalam Muktamarnya.[5]
Ulama yang paling mula menganut tarekat Tijaniyah berdasarkan sejarah adalah K.H Anas bin Abdul Jamil (Buntet) yang memperoleh ijazah Tijaniyah dari Syaikh Alfahashim di Madinah dan juga memperolehnya dari Syaikh Ali Thoyyib, kemudian gurunya Syaikh Ali Thoyyib datang ke Indonesia dan menyebarkan tarekat Tijaniyah. Diantara ulama Indonesia yang memperoleh ijazah dari Syaikh Ali Thoyyib adalah :
a.       K.H Nuh bin Idris (Cianjur)
b.      KH Ahmad Sanusi bin H.Abdurrahim (Sukabumi)
c.       KH Muhammad Sujai (Gudang-Tasikmalaya)
d.      KH Abdul Wahab Sya’rani (Jatibarang Brebes)
e.       KH Abbas, KH Anas dan KH Akyas (Buntet Cirebon)
f.       KH Usman Dhomiri (Bandung)
g.      KH Badruzzaman (Garut)[6]
Penyebaran Tarekat Tijaniyah didaerah Jawa Timur melalui KH. Umar Baidawi yang berasal dari Syaikh Muhammad bin Yusuf, Cirebon. Kemudian melalui KH. Mukhlas tarekat ini menyebar lagi ke daerah Probolinggo melalui KH. Mahdi, kemudian menyebar lagi ke Blitar oleh KH. Mustafa, kemudian menyebar ke Sidoarjo lagi oleh KH. Mi’ad, lalu menyebar lagi kedaerah Probolinggo memlalui KH. Abdul Ghafur Maksum, kemudian menyebar lagi ke daerah Bondowoso melalui KH. A. Fauzan Fathullah, kemudian menyebar lagi ke daerah Pasuruan oleh KH. Shalih sampai kedaerah Jember, dan melalui KH. Muhammad Tijani Jumhur menyebar ke Madura. Daerah penyebaran lainnya adalah Malang, Sumenep, Lumajang, Bangkalan, dan Situbondo. Penyebaran Tarekat Tijaniyah ke Jawa Tengah melalui Habib Muhammad bin Ali Basalama, Jatibarang, Brebes. Beliau mendapat talqin dari KH. Hawi, Cirebon. Kemudian tarekat ini menyebar ke Pekalongan melalui Al-Habib Lutfi dari Pekalongan dan KH. Malawi dari Brebes.

C.    Pengertian Mursyid Tarekat Tijaniyah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibuth Toriqah yang musalsal dari Rasullullah SAW untuk mentalqin dzikir/wirid thariqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqoh  tijaniyah sebutan untuk mursyid adalah “muqoddam”.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqoh. Karena ia tidak saja merupakan seseorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah.sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juag merupakan pemimpib kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqoh.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarangan orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqoh cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru mursyid ini, seperti Nasik (orang yang mengerjakan mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari’at, tetapi juga masalah aqidah/keyakinan, Syaikh (orang yang menjadi sesepuh atau yang dituakan dari suatu perkumpulan), Saadah (penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, seorang penganut tariqah qadariyah naqsabandiyah yang bermadzhab syafi’i dalam kitabnya Tanwirul Qulub Fi Muamalati Allamil Ghuyub menyatakan bahwa yang dinamakan syaikh/mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijaul Kamal, seseorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya yang terus bersambung kepada Rasulullah SAW yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang diakui keabsahannya itu sebenarnya tidak boleh lebih dari seorang yang jahil, yang ingin hanya menduduki jabatan itu karena didorong nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thariqoh.
Mursyid merupaka penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah setan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid diatasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Al-Imam Ar-Rozy menyatakan bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah dalam pengajarannya akan lebih merusakkan terhadap para muridnya daripada memperbaikinya dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-pemimpin yang arif.

D.    Ajaran Tarekat Tijaniyah
Diantara ajaran Ahmad At-Tijani, pendiri tarekat tijaniyah, adalah perlunya wasilah (perantara) yang menghubungkan antara manusia dengan Allah. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti atau wakilnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru lain atau menjalankan tarekat-tarekat lain. Hanya kepada Syekh Ahmad A-Tijani saja mereka harus mengaitkan spiritualitasnya. Bahkan beliau melarang untuk memohon kepada wali manapun selain dirinya. Karena itulah tarekat ini hanya memiliki silsilah guru. Ahmad At-Tijani juga mengajarkan dzikir tanpa suara, meskipun dilakukan secara berjamaah dan menentag praktik ziarah kubur ke tempat keramat yang menurutnya telah menyimpang dari hukum islam (syara). Para pengikut tarekat Tijaniyah dijanjikan akan mendapatkan perlindungan khusus pada hari kiamat kelak. Al-Tijani juga mengajarkan bacaan shalawat Jauharat Al-Kamal yang dapat mempertemukan pembacanya dengan Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya. Ajaran ini seperti membuat tarekat tijaniyah menjadi tarekat yang eksklusif dengan mengklaim sebagai yang terakhir dari perkembangan tarekat-tarekat sebelumnya.[7]
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari setelah shalat subuh dan shalat ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istighfar ( اَسْتَغْفُراللهَ الْعَظِيْمِ لَااِلَهَ اِلَّاهُوَالْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih sebanyak 50 kali, Tahlil ( لااله الاالله ) sebanyak 100 kali dan ditutup dengan do’a Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.[8]
Isi dan praktik masing jenis wirid Tarekat Tijaniyah adalah sebagai berikut :
1.      Wirid Lazimah
Wirid ini harus dipraktikan dua kali setiap hari (pagi dan sore) dan dilakukan secara individu, bacaannya tidak boleh dikeraskan. Untuk waktu pagi pelaksanaannya setelah shalat subuh sampai dengan waktu shalah duha. Sedangkan untuk waktu sore hari dilaksanakannya setelah shalat ashar. Jika ada udzur maka waktu wirid lazimah bisa diamalkan sampai waktu maghrib. Tata cara untuk membaca wirid lazimah adalah dengan cara seperti berikut:
1.      Tawasul kepada Rasulullah SAW kemudian membaca Fatihah 1x.
2.      Tawasul kepada Syaikh Ahmad At-Tijani kemudian membaca Fatihah 1x.
3.      Tawasul kepada para ahli silsilah tarekat tijaniyah kemudian membaca Fatihah 1x.
4.      Membaca khutbah muqaddimah.
5.      Niat (secara talafudz) untuk mengamalkan wirid lazimah (untuk pagi atau sore).
6.      Membaca Ta’awudz dan Fatihah 1x.
7.      Membaca shalawat fatih li mauhliq 1x.
8.      Membaca tasbih, salah dan tahmid 1x.
9.      Membaca istighfar 100x.
10.  Membaca shalawat nabi 100x.
11.  Membaca shalawat, salam dan tahmid 1x.
12.  Membaca tahlil (la ilaha ilallah) 99x dilanjutkan dengan bacaan la ilaha ilallah muhammad Rasullullah salamullah (dipanjangkan bacaannya).
13.  Membaca ta’awudz dan fatihah 1x.
14.  Membaca shalawat fatih li mauhliq 1x..
15.  Membaca ayat shalawat
16.  Membaca do’a.
Isi do’a tergantung kepada yang berdo’a, namun biasanya menggunakan contoh-contoh do’a lazim digunakan dalam wirid tarekat Tijaniyah.
2.      Wirid Wadzifah
Wirid wadzifah juga harus dikerjakan setiap hari sebanyak 2x (pagi dan sore atau siang dan malam). Jika selama sehari semalam seorang murid tidak mengerjakan wirid ini sama sekali, maka wajib qadha (bayar denda pengamalan), demikian juga ia wajib qadha dalam wirid lazimah. Praktik wirid wadzifah adalah sebagai berikut:
1.      Membaca hadarat (tawasul) pada Rasullullah, kemudian membaca fatihah 1x.
2.      Membaca hadarat kepada Syaikh Ahmad At-Tijani, kemudian membaca fatihah 1x.
3.      Membaca hadarat kepada para ahli silsilah tarekat Tijaniyah.
4.      Membaca khutbah muqaddimah.
5.      Membaca niat (secara tahfudz) untuk mengamalkan wirid wadzifah.
6.      Membaca ta’awudz dan fatihah 1x.
7.      Membaca shalawat fatih li maughliq 1x.
8.      Membaca tasbih, salam, dan tahmid 1x.
9.      Membaca istighfar 100x.
10.  Membaca shalawat fatih lil mauhgliq 1x.
11.  Membaca tasbih, salam dan tahmid 1x.
12.  Membaca tahlil (la ilaha ilallah) 99x, dilanjutkan dengan bacaan la ilaha ilallah Muhammad Rasullullah salamullah (dipanjangkan bacaannya).
13.  Membaca jauharah al-kamal dan diakhiri dengan membaca tasbih, salam dan tahmid.
14.  Membaca do’a.
15.  Membaca ta’awudz dan fatihah 1x.
16.  Membaca shalawat fatih li maughliq 1x.
17.  Membaca ayat shalawat dan diakhiri dengan tasbih, salam dan tahmid.[9]
Tarekat Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang harus ditegakkan oleh setiap pengamal tarekat tersebut. Aturan-aturan dalam tarekat tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tata kama (sopan santun) terhadap guru, sesama ikhwan dan terhadap dirinya sendiri. Syarat-syarat dalam tarekat Tijaniyah terbagi dalam dua bentuk: Syarat kalamiyah (syarat penyempurna) dan syarat lazimah (syarat pokok):
1.      Syarat kalamiyah yakni syarat kalamiyah yang berhubungan dengan wirid.
2.      Syarat lazimah terbagi menjadi dua, diantaranya adalah syarat lazimah yang berhubungan dengan diri sendiri (murid) dan syarat lazimah yang berhubungan dengan wirid.

Sedangkan tata krama yang harus ditegakkan oleh murid Tijaniyah terbagi menjadi tiga:
1.      Tata krama terhadap diri sendiri.
2.      Tata krama terhadap syaikh.
3.      Tata krama terhadap sesama ikhwan.
Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya polemik dalam tarekat Tijaniyah adalah sebagai berikut:
1.      Talqin Syaikh Ahmad At-Tijani
Sayyid Abdullah Dahlan menyanggah ungkapan yang terdapat dalam kitab Munyat al-Murid. Kata Syaikh al-Syingqiti yang berbunyi:
“Tarekat ini (Tijaniyah) mempunyai banyak keistimewaan yang membuatnya jauh lebih unggul daripada tarekat-tarekat yang lain. Karena tarekat ini mendapat restu dari Rasullullah. Pendiri tarekat ini Syaikh Ahmad At-Tijani, bertemu langsung dengan Rasullullah. Beliau mengambil wirid tarekat dan riwayat ini, kecuali orang yang dengki dan tidak memahami kekuasaan Allah serta tidak mengerti kekuasaan Allah serta tidak mengerti kehidupan Nabi di alam barzah.”
2.      Kedudukan Syaikh Ahmad At-Tiajni
Syaikh Abdullah Dahlan mengutip kitab yang sama pada halaman 150 yang berbunyi:
“Tarekat ini dinamai juga dengan Tarekat Ahmadiyah, karena pendiri tarekat ini adalah wali pertama yang bertugas membantu wali-wali sesudahnya. Beliau sudah menjadi wali dikala Nabi masih dalam bentuk tanah liat bercampur air. Beliau adalah wali terakhir sebagaimana Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir. Sesungguhnya tiap wali Allah baik yang ada maupun tiada mengambil sumber keberkahan dari kedua penutup ini. Nabi Muhammad dan Syaikh Ahmad At-Tijani pemilik tarekat ini, adalah penghulu para wali sebagaimana Nabi Muhammad sebagai penghulu para Nabi.”
Ungkapan-unkapan diatas dikritik sangat keras oleh Sayyid Abdullah Dahlan dengan mengatakan bahwa pemilik tarekat ini dijangkit penyakit jiwa yang membuat dirinya kurang koreksi terhadap ucapannya. Orang yang waras tidak berani menulis kata-kata semacam ini karena pasti ia akan malu kepada dirinya sendiri.
3.      Keistimewaan Tijaniyah dan pengamalannya
Sayyid Abdullah Ahmad Dahlan mengutip lagi ungkapan tokoh Tarekat Tijaniyah dari kitab yang sama:
“Barang siapa yang mengamalkan tarekat ini, tidak akan masuk neraka selamanya, semua anak-anaknya, kedua orang tuanya, serta istrinya turut bersama masuk surga. Mereka masuk surga secara bersamaan tanpa melalui hisab dalam gelombang pertama. Pengikut tidak akan masuk neraka walaupun membunuh 70 orang, jika mau bertobat, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Syaikh Ahmad At-Tijani agar menginstruksikan pada para pengikutnya untuk jangan menziarahi wali-wali selain dari kalangan tarekatnya sendiri.”
Menurut Sayyid Abdullah Dahlan dalam ungkapan-ungkapan tersebut terdapat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at islam. Lebih heran lagi, ungkapan-ungkapan itu datang dari orang yang hafal kitab Allah. Pengaruh negatif ini hanya dirasa oleh orang-orang arif. Sesunggunya, semuanya itu hanyalah ungkapan batil dan angan-angan kosong. Tidak ada satu dalil pun yang menjadi pegangan mereka, baik dari Al-Qur’an maupun Hadist.
Dalam rangka menanggapi kritikan dan sanggahan dari para penentang, para penganut Tijaniyah juga menyusun kitab-kitab rujukan dan pegangan pokok yang menjelaskan ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah, dasar-dasarnya, sumber-sumbernya, dan dalil-dalil syar’i dan ‘aqli yang untuk menunjukan keabsahan ajaran-ajaran Syaikh Ahmad At-Tijani. Sebenarnya kitab-kitab yang menentang Tarekat Tijaniyah, tetapi lebih banyak mengupas secara luas tentang isi ajaran Tarekat Tijaniyah.[10]




BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan
Setelah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat tijaniyah sendiri merupaka tarekat yang dibawakan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani. Beliau sendiri merupakan masih keturunan dari Rasulullah Muhammad SAW dari garis siti Fatimah putri beliau. Dengan adanya tarekat, kita sebagai umat islam justru merasa bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta ini.
      Juga dengan adanya tarekat orang-orang awam bisa lebih banyak berdzikir dan juga bisa membuat hati lebih nyaman dan tentram. Dan juga mempunyai seorang guru atau disebut mursyid adalah agar mempermudah dalam menjalani tarekat dan tidak adanya kerancuan dalam menjalani tarekat tersebut.




[3] Hj. Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011) Cet. 4, h. 224-225.
[4] Abdul Wadud Ksyful Humam,S. Th. I, Satu Tuhan Seribu Jalan,(Yogyakarta: FORUM, 2013) Cet. I, h. 212-213
[5] Abdul Wadud Ksyful Humam,S. Th. I, Satu Tuhan.…, h.213-214
[7] Aabdul Wadud Ksyful Humam,S. Th. I, Satu Tuhan…., Cet. I, h. 214-215.
[9] Hj. Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah…., Cet. 4, h. 237-238.
[10] Hj. Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah…., Cet. 4, h. 228-232

0 komentar:

Posting Komentar

Social Media

Google+ Twitter Facebook Instagram Yahoo

BloGoblog

Ini blog bukan hanya sekedar blog.
Didalamnya terdapat ilmu yang mungkin sedikit namun bermanfaat untuk kedepannya.
Kalaupun ada kekurangan tolong ditambahkan ya dan kalau pun kurang sempurna mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanya milik-Nya.