Nama lengkapnya adalah Abu isma`il
`Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan
khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari
madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut.
Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di
atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang
tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam
karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para
sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan
akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa
tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal,
seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi.
Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta
keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik
terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana
katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah
ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan
(sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia
mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah
ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya.
Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat
orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan
ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang
diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl
al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat
mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat
dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak
tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas
tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya
sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan
kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi,
tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
0 komentar:
Posting Komentar