BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat Islam, Al-Quran al-Karim sudah
tidak terlalu diminati oleh kaum pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang
akan menggantikan dan meneruskan estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut.
Padahal, dalam keeharian, Al-Quran sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat.
Secara tidak sadar, ilmu Al-Quran telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan ulum
Al-Quran semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an diturunkan dalam tempo menurut satu riwayat 22 tahun 2
bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Nabi,
sampai 9 Dzulhijjah Haji wada’ tahun 63 kelahiran Nabi atau 10 H.
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu saja tidak diekspresikan
dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Beliau mempunyai
sekretaris pribadi yang bertugas mencatat wahyu. Mereka Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Walid, dan Muawiyah
bin Abi Sufyan.proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi sangatlah sederhana.
Mereka menggunakan alat tulis berupa lontaran kayu, pelepah korma,
tulang-tulang dan batu.
Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat islam memegang peran yang sangat
besar terhadap perkembangan keilmuan teologi islam karena Al-Quran ialah sumber
terbesa dan terpercaya dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun
umum. Maka, kajian terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat
menarik dan tak ada habismya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti
pembukuan Al-Quran sehingga dapat menganalisa bagaimana sejarah pembukan
Al-Qur’an tersebut sehingga akan mempermudah mempelajari kajian sejarah
pembukuan Al-Quran dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam
Al-Quran secara komprehensif dan ilmiah.
Disini akan menjelaskan “pembukuan Al-Qur’an pada masa khulafaurrasyidin”
lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok
pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Sejak
kapan Pembukuan Al-Qur’an tersebut dimulai?
2.
Siapa
sajakah yang ikut berperan dalam pembukuan Al-Qur’an tersebut?
3.
Apa
alasan para sahabat membukukan Al-Qur’an?
C. Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Agar
mengetahui bagaimana sejarah pembukan Al-Qur’an pada masa khulafaurrasyidin
2.
Bisa
lebih mengenal bagaimana peran para tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembukuan
Al-Qur’an
BAB II PEMBAHASAN
Pembukuan
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq
Pada dasarnya
Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat-surat dan
ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar[1].
Orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar
Ash-Siddiq. Abu Abdillah Al-Muhasibi[2]
berkata dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-Qur’an bukanlah sesuatu
yang baru sebab, Rasullullah sendiri pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat
itu tulisan Al-Qur’an berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit,
tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar-lah yang kemudian berinisiatif
menghimpun semuanya[3].
Ketika
rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari
kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa
kepemimpinannya Umar mengirim pasukan untuk memerangi. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an itu terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para pemurtad yang
juga pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata menyebabkan 700 orang sahabat
penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghafal
Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam. Umar datang
menemui khalifah pertama, Abu Bakar, agar segera menginstruksikan pengumpulan
Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun
tulisan[4].
Zaid bin Tsabit,
salah sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Bukhari (kitab “Fadha il Al-Qur’an”,
bab 3 dan 4; “kitab Al-Ahkam”, bab 37), mengisahkan setelah peristiwa bedarah
yang menimpa sekitar 700 orang penghafal Al-Qur’an, Zaid diminta bertemu Abu
Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar
mebuka pertemuan itu dengan mengatakan “Umar telah mendatangiku dan mengatakan
bahwa peperangan Yamamah telah meminta korban sejumlah qari’ Al-Qur’an. Aku
khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, banyak penghafal
Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.”
Zaid bin Tsabit berkata kepada Umar karena
usul penulisan datng darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
belum dilakukan Rasullullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang
baik.” Ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan
hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
Abu Bakar berkata
kepada Zaid, “Engkau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami
tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu engkau menulis wahyu untuk Rasullullah,
(sekarang) lacaklah Al-Qur’an”.
Tugas yang
dipercayakan Khalifah Abu Bakar padanya bukan hal yang ringan. Ia berkata di
hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, jika sekiranya
orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung , hal itu tidak lebih berat
daripada perintah untuk menghimpun Al-Qur’an.”
Dalam melaksanakan
tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk seriap ayat yang
dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa
didukung tulisan[5].
Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya sebagaimana yang tertuang pada
akhir hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari di atas, “...Hingga aku temukan akhir
surat At-Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah Al-Anshari.” Ungkapan itu tidak
menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah [9] itu tidak mutawatir, tetapi
menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al-Anshari-lah yang menulisnya. Zaid dan
sahabat-sahabat yang lainnya hanya menghafalkan saja tidak memiliki tulisannya.
Sikap
kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu
Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata: “Duduklah kalian dipintu mesjid.
Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua
saksi, catatlah.”[6]
Riwayat senada
juga dikeluarkan Ibnu Abi Dawud[7]
melalui jalan Yahya bin Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa Umar
pernah berkata “Siapa saja yang pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Qur’an
dari Rasullulla, sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat
telah menulisnnya pada suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid sendiri tidak
menerima laporan ayat dari siapapun sebelum diperkuat dua saksi.”[8]
Dalam menerangkan
pengertian dua saksi, perlu disimak pendapat Ibnu Hajar. Menurut tokoh hadis
kenamaan ini, yang dimaksud dengan syahidain (dua saksi) disini tidak harus
keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat
tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya
didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu
hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu dapat diterima bila
dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.[9]
Pemahaman Ibnu
Hajar tentang syahidatain sedikit berbeda dengan apa yang di ungkapkan
Asy-Syakhawi (w. 643)[10].
Ia memandang syahidain disini artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat
tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki
dua orang yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis dihadapan
Nabi.[11]
Pekerjaan yang
dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu
tahun, yatu pada tahun ke-3 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para
tokoh sahabat lainnya.[12]
Tidak ragu lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yaitu Abu Bakar sendiri, Umar dan Zaid,
mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan
terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya mempunyai arti
tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena dipercaya
menghimpun kitab suci Al-qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan,
ketelitian, dan kerja keras. Adapun khalifah Abu Bakar sebagai decision maker
juga menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan Ali bin Abi Thalib memujinya
dengan mengatakan “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia adalah orang yang
pertama kali (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah.”
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit,
penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf
Al-Qur'an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para
penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat
itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih
yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Setelah sempurna berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang
sudah terkumpulkan dinamakan Mushaf, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah[13]
dalam kitab Al-Mushahif. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang sampai
kepadanya melalui jalan Musa bin Aqabah dari Ibnu Syihab, setelah Al-Qur’an
terkumpul, mereka menuliskan diatas kertas. Abu Bakar berkata “Carilah nama
untuk Al-Qur’an yang sudah ditulis ini.” Sebagian sahabat mengusulkan nama
As-Sifr. Abu Bakar berkata, “itu nama yang diberikan orang-orang Yahudi.”
Mereka pun menolak nama itu. Sebagian sahabat lain mengusulkan nama Al-Mushaf
karena orang-orang Habsyi memakai nama itu. Mereka pun sepakat dengan nama itu.[14]
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan
khalifah Umar. Setelah Umar wafat, mushaf itu disimpah Hafsah, bukan oleh
Utsman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar. Timbul pertanyaan
kenapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah Umar? Pertanyaan itu
logis. Menurut Zarzur, Umar mempunyai pertimbangan lain. Sebelum wafat, Umar
memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah
seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf
kepada salah seorang diantara keenam sahabat itu, ia khawatir hal itu
diinterpresentasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf.
Padahal Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat untuk
memilih mereka yang layak menjadi khalifah. Maka ia menyerahkan mushaf itu
kepada Hafsah yang sesungguhnya lebih dari layak memegang mushaf yang sangat
bernilai,[15]
terlebih ia adalah istri Nabi yang sudah menghafal Al-Qur’an secara
keseluruhannya.[16]
Pembukuan
Al-Qur’an pada masa Umar bin Khattab
Pada masa masa Umar Bin Khattab
tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena
al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari
kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap
perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh
ketangan Ustman bin Affan.
Pembukuan
Al-Qur’an pada masa Utsman Bin Affan
Pada masa Khalifah Utsman, wilayah
Negara Islam telah meluas sampai Tripoli Barat. Armenia dan Azarbajian. Pada
waktu itu islam tersebar dibeberapa wilayah Afrika, syiria dan Persia. Para
penghafal al-qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru,
yaitu silang pendapat dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at)
al-qur’an.
Penjelasan
tradisional, berupa hadist Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari tentang alasan
yang menyebabkan di ambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an
menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at (cara membaca)
Al-Qur’an terdapat dalam salinan-salinan Al-Qur’an yang ada pada masa Utsman
bin Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan bahwa ketika pengiriman ekspedisi
militer ke Armenia dan Azernajian, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul
dikalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan
sebagian lagi dari Irak.
Hudzaifah melihat penduduk Syam
membaca al-qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan
sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat
penduduk Irak membaca al-qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah
bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi dari fenomena ini adalah
adanya peristiwa saling mengjkafirkan diantara sesame muslim. Perbedaan
tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena penduduk Kufah
membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah membaca qiraat Abu Musa.
Sekitar tahun 25 H, datanglah
Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan di Madinah. Kemudian
Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka
berselisih tentang kitab (al-qur’an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan
Nasrani”.
Perselisihan ini cukup
serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim, Hudzaifah, melaporkannya
kepada Khalifah Utsman bin Affan (644-456) dan mendesaknya agar mengambil
langkah guna mengakhiri penugasan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an.
Bersama Zaid ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang, yaitu
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash dan Abd. Ar-Rahman bin Al-Harits.
Adanya perbedaan dalam bacaan
al-qur’an bukan barang baru, sebab Umar sudah mengantisipasinya bahaya ini
sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu Mas’ud ke Irak, setelah Umar
diberitahukan bahwa dia mengajarkan al-qur’an dalam dialek Hudhail (sebagaimana
Ibnu Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam. Kemudia Umar berkata
“sesungguhnya al-qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah
menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus
seseorang datang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran
al-qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin kedalam beberapa mushaf,
dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan
lembaran-lembarn al-qur’an kepada Utsman.
Satu prinsip yang harus mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini
adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan dialek Quraisy-suku asal Nabi-harus
dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur’an direvisi dengan cermat dan
dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan Hafsah serta dikembalikan
kepadanya ketika resensi Al-Qur’an selesai dilakukan. Degan demikian, suatu
naskah otoritatif (absah) Al-Qur’an yang sering juga disebut mushaf Utsmani,
telah ditetapkan. Sejumlah salinannya, dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat
utama daerah islam.inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an
tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan
cara membaca Al-Qur’an pada saat itu berada pada titik yang menyebabkan Umar.
Islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan di antara mereka.
Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan membaca Al-Qur’an ini terlihat pada
waktu pertempuran pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Mereka
yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Sangat
disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimiliknya lebih
baik.[17]
Riwayat lain yang
dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa khalifah Utsman,
seorang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, sedangkan guru (lainnya)
mengajarkan qira’at tokoh (lainnya). Lalu muridnya bertemu dan berselisih.
Persoalan ini terangkat sampai pada para guru yang pada gilirannya saling
mngkafirkan.[18]
Adapun mengenai
jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat pengirimannya, hadist
memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi kemungkinannya, satu salinan
disimpan di Madinah, sedangkan salinan lain dikirim ke Kufah, Bashrah dan
Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Qur’an yang ada
sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan
sehingga teks seluruh salinan Al-Qur’an yang akan dibuat pada masa-masa
selanjutnya harus didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi
pernyataan berikut :
1.
Terbukti
mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[19]
2.
Mengabaikan
bacaan yang bacaanya di-nasikh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali
di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3.
Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
4.
Bakar
yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
5.
Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
6.
Semua
yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf
sebagian sahabat juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh didalam
mushaf.[20]
Ada beberapa nasehat Sayyidina Usman bin Affan yang disampaikan
kepada panitia pembukuan Al Qur`an dalam melaksanakan tugasnya antara lain
sebagai berikut:
·
Agar
panitia mengambil pedoman kepada siapa saja yang hafal Al Qur`an.
·
Jika
terdapat perselisihan tentang bacaan(dialek)maka harus ditulis menurut dialek
suku Quraisy.Alasannya,sebab Al Qur`an diturunkannya menurut dialek
suku(Quraisy)tersebut.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Dapat saya simpulkan pembahasan makalah di atas tersebut adalah pada
zaman pembukuan tersebut para sahabat memang sangat bersungguh-sungguh dan
berhati-hati dalam membukukan Al-Qur’an dan juga pembukuan tersebut memang
sangatlah penting agar Al-Qur’an tidak musnah dari muka bumi ini.
Dan juga sebenarnya pembukuan Al-Qur’an sudah dilakukan oleh pada
zaman Nabi tersebut namun belum efektif dalam pengerjaannya. Dan juga kegiatan
tulis-menulis Al-Qur’an pada masa Nabi juga disamping dilakukan oleh para
sekretaris Nabi juga dilakukan oleh para sahabat lainnya. Kegiatan tersebut
didasarkan pada sebuah hadist Nabi yang senagaimana telah diriwayatkan oleh
Imam Muslim, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali
Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis selain dariku Al-Qur’an, hendaklah ia
menghapusnya.”
DAFTAR PUSTAKA
Ø
http://inuponcy.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Ø
http://rikzaiip.blogspot.com/2012/03/sejarah-pembukuan-dan-pembakuan-al.html
Ø
Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran:
Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung:
Penerbit Mizania, ISBN
979-8394-43-7
Ø
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Litera AntarNusa.
Bogor: 2012.
Ø
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Pustaka
Setia. Bandung: 2012
[1]
Ibid.
[2]
Ia adalah Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi dan diberi kun-yah Abdullah.
Ulama sufi besar yang alim dalam bidang ushul dan muamalat, serta menjadi guru
bagi kebanyakan muridnya di Baghdad ini, wafat di Baghdad tahun 243 H
(Ash-Sahih, 1988:74)
[3]
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut,
t.t., jilid I, hlm. 60.
[4]
Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li
Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 74.
[5] Manna
Al-Qaththan, Mahabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyuriat Al-Ashr Al-Hadist,
ttp., 1973, hlm. 126
[6]
As-Suyuti, loc. cit.
[7]
Ia adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistaini salah
seorang hafidz hadis yang besar. Diantara
karya-karyanya adalah Al-Mushahif, Al-Musnad, As-Sunan, At-Tafsir, Al-Qira’at,
Al-Nasikh wa Al-Mansukh. Lihat Al-Qaththani, op. cit., hlm.127.
[8]
Al-Qaththan, op. cit., hlm. 127
[9]
A-Suyuthi, loc.cit.
[10]
Ia adalah Ali bin Muhammad bin Abd. Ash-Shamad, yang terkenal As-Syakhawi. Ia
mempunyai sebuah karya tentang qira’at yang diberi judul As-Syakhawiyah, op.
cit., hlm. 127
[11]
As-Suyuti, loc. cit,
[12]
Ash-Shalih,, op. cit., hlm. 77.
[13]
Ia adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Asytah yang memperoleh kunyah
Abu Bakar. Ia seorang pakar dalam bidang ilmu nahwu dan terkenal sebagai
seorang muhaqiq dan terpercaya. Ia banyak terlibat langsung dengan ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Karyanya yang berjudul Al-Mukhbir sekaligus memperlihatkan
keluasan ilmunya. Biografinya dapat dlihat pula pada Ghayah An-Nihayah fi
Tabaqat Al-Qurra’, 1:184. Lihat Ibid., hlm. 77
[14] Ibid.,
hlm. 77-78
[15]
Kamaludin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, Rosdakarya, Bandung. 1992, hlm. 73
[16] Shalih,
op. cit., hlm. 77.
[17]
As-Suyuti, op. cit., hlm. 61.
[18]
Ash-Shalih, op. cit., hlm. 81
[19] Riwayat
yang tidak sampai derajat mutawatir.
[20]
Marzuki, op. cit., hlm.76
0 komentar:
Posting Komentar