Fikray El-Habib Assyirboni

Belajarlah dan terus belajar maka engkau akan terus mendapatkan banyak hal dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat Islam, Al-Quran al-Karim sudah tidak terlalu diminati oleh kaum pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan menggantikan dan meneruskan estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut. Padahal, dalam keeharian, Al-Quran sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat. Secara tidak sadar, ilmu Al-Quran telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan ulum Al-Quran semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an diturunkan dalam tempo menurut satu riwayat 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji wada’ tahun 63 kelahiran Nabi atau 10 H.
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu saja tidak diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Beliau mempunyai sekretaris pribadi yang bertugas mencatat wahyu. Mereka Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Walid, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang-tulang dan batu.
Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat islam memegang peran yang sangat besar terhadap perkembangan keilmuan teologi islam karena Al-Quran ialah sumber terbesa dan terpercaya dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Maka, kajian terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat menarik dan tak ada habismya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti pembukuan Al-Quran sehingga dapat menganalisa bagaimana sejarah pembukan Al-Qur’an tersebut sehingga akan mempermudah mempelajari kajian sejarah pembukuan Al-Quran dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam Al-Quran secara komprehensif dan ilmiah.
Disini akan menjelaskan “pembukuan Al-Qur’an pada masa khulafaurrasyidin” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.

B.    Rumusan Masalah

1.     Sejak kapan Pembukuan Al-Qur’an tersebut dimulai?
2.     Siapa sajakah yang ikut berperan dalam pembukuan Al-Qur’an tersebut?
3.     Apa alasan para sahabat membukukan Al-Qur’an?

C.    Tujuan Penulisan Makalah

1.     Agar mengetahui bagaimana sejarah pembukan Al-Qur’an pada masa khulafaurrasyidin
2.     Bisa lebih mengenal bagaimana peran para tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembukuan Al-Qur’an




BAB II PEMBAHASAN

Pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq

            Pada dasarnya Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar[1]. Orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Siddiq. Abu Abdillah Al-Muhasibi[2] berkata dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang baru sebab, Rasullullah sendiri pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur’an berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar-lah yang kemudian berinisiatif menghimpun semuanya[3]. Ketika rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya Umar mengirim pasukan untuk memerangi. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an itu terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para pemurtad yang juga pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata menyebabkan 700 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghafal Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam. Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar, agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan[4].
            Zaid bin Tsabit, salah sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Bukhari (kitab “Fadha il Al-Qur’an”, bab 3 dan 4; “kitab Al-Ahkam”, bab 37), mengisahkan setelah peristiwa bedarah yang menimpa sekitar 700 orang penghafal Al-Qur’an, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar mebuka pertemuan itu dengan mengatakan “Umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah meminta korban sejumlah qari’ Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.”
             Zaid bin Tsabit berkata kepada Umar karena usul penulisan datng darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasullullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang baik.” Ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
            Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu engkau menulis wahyu untuk Rasullullah, (sekarang) lacaklah Al-Qur’an”.
            Tugas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar padanya bukan hal yang ringan. Ia berkata di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, jika sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung , hal itu tidak lebih berat daripada perintah untuk menghimpun Al-Qur’an.”
            Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk seriap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan[5]. Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya sebagaimana yang tertuang pada akhir hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari di atas, “...Hingga aku temukan akhir surat At-Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah Al-Anshari.” Ungkapan itu tidak menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah [9] itu tidak mutawatir, tetapi menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al-Anshari-lah yang menulisnya. Zaid dan sahabat-sahabat yang lainnya hanya menghafalkan saja tidak memiliki tulisannya.
            Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata: “Duduklah kalian dipintu mesjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, catatlah.”[6]
            Riwayat senada juga dikeluarkan Ibnu Abi Dawud[7] melalui jalan Yahya bin Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa Umar pernah berkata “Siapa saja yang pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Qur’an dari Rasullulla, sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnnya pada suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid sendiri tidak menerima laporan ayat dari siapapun sebelum diperkuat dua saksi.”[8]
            Dalam menerangkan pengertian dua saksi, perlu disimak pendapat Ibnu Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini, yang dimaksud dengan syahidain (dua saksi) disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.[9]
            Pemahaman Ibnu Hajar tentang syahidatain sedikit berbeda dengan apa yang di ungkapkan Asy-Syakhawi (w. 643)[10]. Ia memandang syahidain disini artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua orang yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis dihadapan Nabi.[11]
            Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yatu pada tahun ke-3 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sahabat lainnya.[12] Tidak ragu lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yaitu Abu Bakar sendiri, Umar dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya mempunyai arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena dipercaya menghimpun kitab suci Al-qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras. Adapun khalifah Abu Bakar sebagai decision maker juga menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia adalah orang yang pertama kali (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah.”
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Setelah sempurna berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang sudah terkumpulkan dinamakan Mushaf, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah[13] dalam kitab Al-Mushahif. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa bin Aqabah dari Ibnu Syihab, setelah Al-Qur’an terkumpul, mereka menuliskan diatas kertas. Abu Bakar berkata “Carilah nama untuk Al-Qur’an yang sudah ditulis ini.” Sebagian sahabat mengusulkan nama As-Sifr. Abu Bakar berkata, “itu nama yang diberikan orang-orang Yahudi.” Mereka pun menolak nama itu. Sebagian sahabat lain mengusulkan nama Al-Mushaf karena orang-orang Habsyi memakai nama itu. Mereka pun sepakat dengan nama itu.[14]
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan khalifah Umar. Setelah Umar wafat, mushaf itu disimpah Hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar. Timbul pertanyaan kenapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah Umar? Pertanyaan itu logis. Menurut Zarzur, Umar mempunyai pertimbangan lain. Sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf kepada salah seorang diantara keenam sahabat itu, ia khawatir hal itu diinterpresentasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat untuk memilih mereka yang layak menjadi khalifah. Maka ia menyerahkan mushaf itu kepada Hafsah yang sesungguhnya lebih dari layak memegang mushaf yang sangat bernilai,[15] terlebih ia adalah istri Nabi yang sudah menghafal Al-Qur’an secara keseluruhannya.[16]



Pembukuan Al-Qur’an pada masa Umar bin Khattab

Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan.

Pembukuan Al-Qur’an pada masa Utsman Bin Affan

            Pada masa Khalifah Utsman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai Tripoli Barat. Armenia dan Azarbajian. Pada waktu itu islam tersebar dibeberapa wilayah Afrika, syiria dan Persia. Para penghafal al-qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at) al-qur’an.
Penjelasan tradisional, berupa hadist Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari tentang alasan yang menyebabkan di ambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at (cara membaca) Al-Qur’an terdapat dalam salinan-salinan Al-Qur’an yang ada pada masa Utsman bin Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan bahwa ketika pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azernajian, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul dikalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi dari Irak.
Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengjkafirkan diantara sesame muslim. Perbedaan tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah membaca qiraat Abu Musa.
Sekitar tahun 25 H, datanglah Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan di Madinah. Kemudian Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab (al-qur’an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
 Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada Khalifah Utsman bin Affan (644-456) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri penugasan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an. Bersama Zaid ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang, yaitu Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash dan Abd. Ar-Rahman bin Al-Harits.
Adanya perbedaan dalam bacaan al-qur’an bukan barang baru, sebab Umar sudah mengantisipasinya bahaya ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu Mas’ud ke Irak, setelah Umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan al-qur’an dalam dialek Hudhail (sebagaimana Ibnu Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam. Kemudia Umar berkata “sesungguhnya al-qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus seseorang datang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin kedalam beberapa mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembarn al-qur’an kepada Utsman.
Satu prinsip yang harus mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan dialek Quraisy-suku asal Nabi-harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur’an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan Hafsah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur’an selesai dilakukan. Degan demikian, suatu naskah otoritatif (absah) Al-Qur’an yang sering juga disebut mushaf Utsmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya, dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah islam.inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu berada pada titik yang menyebabkan Umar. Islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan membaca Al-Qur’an ini terlihat pada waktu pertempuran pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Sangat disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimiliknya lebih baik.[17]
            Riwayat lain yang dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa khalifah Utsman, seorang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, sedangkan guru (lainnya) mengajarkan qira’at tokoh (lainnya). Lalu muridnya bertemu dan berselisih. Persoalan ini terangkat sampai pada para guru yang pada gilirannya saling mngkafirkan.[18]
            Adapun mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat pengirimannya, hadist memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah, sedangkan salinan lain dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Qur’an yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan sehingga teks seluruh salinan Al-Qur’an yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya harus didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
           

Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi pernyataan berikut :
1.      Terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[19]
2.      Mengabaikan bacaan yang bacaanya di-nasikh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3.      Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
4.      Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
5.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
6.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh didalam mushaf.[20]
Ada beberapa nasehat Sayyidina Usman bin Affan yang disampaikan kepada panitia pembukuan Al Qur`an dalam melaksanakan tugasnya antara lain sebagai berikut:
·        Agar panitia mengambil pedoman  kepada siapa saja yang hafal Al Qur`an.
·        Jika terdapat perselisihan tentang bacaan(dialek)maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy.Alasannya,sebab Al Qur`an diturunkannya menurut dialek suku(Quraisy)tersebut.



BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Dapat saya simpulkan pembahasan makalah di atas tersebut adalah pada zaman pembukuan tersebut para sahabat memang sangat bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam membukukan Al-Qur’an dan juga pembukuan tersebut memang sangatlah penting agar Al-Qur’an tidak musnah dari muka bumi ini.
Dan juga sebenarnya pembukuan Al-Qur’an sudah dilakukan oleh pada zaman Nabi tersebut namun belum efektif dalam pengerjaannya. Dan juga kegiatan tulis-menulis Al-Qur’an pada masa Nabi juga disamping dilakukan oleh para sekretaris Nabi juga dilakukan oleh para sahabat lainnya. Kegiatan tersebut didasarkan pada sebuah hadist Nabi yang senagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis selain dariku Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  http://inuponcy.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Ø  http://rikzaiip.blogspot.com/2012/03/sejarah-pembukuan-dan-pembakuan-al.html
Ø  Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
Ø  Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Litera AntarNusa. Bogor: 2012.
Ø  Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Pustaka Setia. Bandung: 2012



[1] Ibid.
[2] Ia adalah Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi dan diberi kun-yah Abdullah. Ulama sufi besar yang alim dalam bidang ushul dan muamalat, serta menjadi guru bagi kebanyakan muridnya di Baghdad ini, wafat di Baghdad tahun 243 H (Ash-Sahih, 1988:74)
[3] Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., jilid I, hlm. 60.
[4] Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 74.
[5] Manna Al-Qaththan, Mahabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyuriat Al-Ashr Al-Hadist, ttp., 1973, hlm. 126
[6] As-Suyuti, loc. cit.
[7] Ia adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistaini salah seorang hafidz hadis yang besar.    Diantara karya-karyanya adalah Al-Mushahif, Al-Musnad, As-Sunan, At-Tafsir, Al-Qira’at, Al-Nasikh wa Al-Mansukh. Lihat Al-Qaththani, op. cit., hlm.127.
[8] Al-Qaththan, op. cit., hlm. 127
[9] A-Suyuthi, loc.cit.
[10] Ia adalah Ali bin Muhammad bin Abd. Ash-Shamad, yang terkenal As-Syakhawi. Ia mempunyai sebuah karya tentang qira’at yang diberi judul As-Syakhawiyah, op. cit., hlm. 127
[11] As-Suyuti, loc. cit,
[12] Ash-Shalih,, op. cit., hlm. 77.
[13] Ia adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Asytah yang memperoleh kunyah Abu Bakar. Ia seorang pakar dalam bidang ilmu nahwu dan terkenal sebagai seorang muhaqiq dan terpercaya. Ia banyak terlibat langsung dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karyanya yang berjudul Al-Mukhbir sekaligus memperlihatkan keluasan ilmunya. Biografinya dapat dlihat pula pada Ghayah An-Nihayah fi Tabaqat Al-Qurra’, 1:184. Lihat Ibid., hlm. 77
[14] Ibid., hlm. 77-78
[15] Kamaludin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, Rosdakarya, Bandung. 1992, hlm. 73
[16] Shalih, op. cit., hlm. 77.
[17] As-Suyuti, op. cit., hlm. 61.
[18] Ash-Shalih, op. cit., hlm. 81
[19] Riwayat yang tidak sampai derajat mutawatir.
[20] Marzuki, op. cit., hlm.76

0 komentar:

Posting Komentar

Social Media

Google+ Twitter Facebook Instagram Yahoo

BloGoblog

Ini blog bukan hanya sekedar blog.
Didalamnya terdapat ilmu yang mungkin sedikit namun bermanfaat untuk kedepannya.
Kalaupun ada kekurangan tolong ditambahkan ya dan kalau pun kurang sempurna mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanya milik-Nya.