Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf
menjadi tiga;pertama, tasawuf yang mengarah pada toeri-teori
perilaku; kedua, tasawuf yang mengarahkan pada teeori-teori yang
rumit dan memerlukan pemahaman mendalam;ketiga, tasawuf yang
pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seorang dapat
berdiolog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan (ma’rifat) dimasukkan
Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering
disebut sebagai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi
kearah yang kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan
yang berorientasi kearah yang ketiga disebut sebagai tasawuf irfani.[1] Dan, yang
akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama yaitu tasawuf
akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi.
Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan
diri dari akhlak yang buruk),tahalli ( menghiasi dengan
akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding
penghalang (hijab) ) antara manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak
jelas padanya.[2]
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman
klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering di gandrungi orang karena
penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit.
Tasawuf seperti ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di
Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.
Pada mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis
dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan
moral yang sempurna.[3]Adapun
ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
1.
Melandaskan diri pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya,
cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.
Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada di luar
pemahaman Al-Qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalau pun harus ada
penafsiran, panafsiran itu sifatnya hanya hanya sekedarnya dan tidaka begitu
mendalam.
2.
Tidak menggunakan
terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di
kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap
bergelut dengan terma-terma syathatat.Walaupun ada
tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman
pribadi dan mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain. Pengalaman yang
ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau eajaiban yang
mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun sebagaiana dikutip At-Taftazani,
memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam aspek ini
mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri sahabat dan tokoh angkatan
salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti itu.
3.
Lebih bersifat mengajarkan
dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan
disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat
berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di
antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya
tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan. Al-Qur’an dan Hadis
dengan jelas menyebutkan bahwa “inti” makhluk adalah “bentuk lain” dari Allah.
Hubungan antara sang pencipta dengan yang diciptakan bukanlah merupakan salah
satu persamaan, tetapi “bentuk lain”. Benda yang diciptakan Allaha adalah
bentuk lain dari penciptanya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-paham
filosofis yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan keganjilannya. Kaum sufi Sunni
menolak ungkapan-ungkapan ganjil seperti yang disebutkan Abu Yazid al-Busthami
dengan teori fana’ da baqa-nya, Al-Hallaj dengan
konsep hulul-nya, dan Ibnu Arabi dengan konsep dahwatul
wujud-nya.
4.
Kesinambungan antara hakikat
dengan syari’at. Dalam penegrtian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf
(sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek lahirnya). Hal ini merupakan
konsekuensi dari paham diatas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam
berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau
kedudukannya sebagi objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum sufi
dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan
lahiriah-formal, seperti aturan aturan yang dianut oleh fuqaha. Aturan-aturan itu
bahkan sering di anggap sebagai jembatan untuk berhubungan
dengan Tuhan.
5.
Lebih terkonsentrasi pada
pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan
mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada
teori perilaku. Tasawuf seperti ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang
banyak dikembangkan dalam kaum salaf (salafi). Pada mulanya,
taswuf ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau
akhlak yang sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia
adalah makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah
kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat
kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.[4]
Dalam tasawuf akhlaki ini akan di bahas mengenai salah
seorang tokohnya, yaitu Al-Qusyairi. Baik itu sejarahnya maupun perannya dalam
dunai tasawuf. Berikut ini akan di uraikan mengenai hal-hal
tersebut.
a.
Biografi singkat
Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari
adad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya
tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada
abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat
dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun secara
praktis.[5]
Nama lengkap Al-Qurairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin
al-Qusyairi, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat
ilmu pengetahuan pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan gurunya,
abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri majelis
gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru
menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia
selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu Bakr
Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari
ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bi Farauk (wafat tahun 406 H).[6]
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy,
kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim.
Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya
diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga
al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa
negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat
terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang
untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai
penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat
memberatkan rakyat..
Selain itu, ia pun
menjadi murid Abu Ishak al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) dan
menelaah banyak karya al-Baqillani. Dari situlah Al-qusyairi
berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dikembangkan
al-Asyi’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh dalam
menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, mujassamah dan Syi’ah.
Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan
lebih atas perintah Thugrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang
menganut aliran Mu’tazilah Rfidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang
bermula pada tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl
As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu
mengompromikan syari’at dengan hakikat. Dia wafat tahun 465 H.[7]
Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi adalah
seorang tokoh yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah yang
cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan tasawuf ke
landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan ciri-ciri utama dari ajaran
tasawuf sunni. Kedudukannya yang demikian penting, menginget
karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad-abad ketiga
dan keempat Hijriyah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf
pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut Ibnu Khalikan,
Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu “mengkompromikan syariat dengan
hakikat”.[8]
Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia
menuliskan sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah
al-Qusyairiah. Sebenarnya, kitab ini ditulis olehnya untuk golongan orang-orang
sufi dibeberapa negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh
tempat kerena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap
ajaran-ajaran sufi yang pada saat itu telah banyak menyimpang dari sumber hukum
Islam. Karya tulis Al-Qusyairi yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi
bahan bacaan wajib bagi para peminat tasawuf adalahRisalah al-Qusyairiyyah
fi’Ilm at-Tasawufi.[9]
Al-Qusyairi adalah tokoh yang senantisa
mengamalkan ajaran tasawuf, sehingga dalam sebuah buku[10],
Khamsyakhanuwi menyatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh sesudah abad ketiga
Hijriyah yang walaupun sedah wafat mereka terus meerus beramal dalam kuburnya
seperti ketika masih hidup. Beberpa diantaranya adalah Syeik Junaid
al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Imam Syibli, Al-Qsyairi, Asy-Syibani dan
masih banyak sekali yang lain bahkan sampai beribu-ribu.
Pada permulaannya, diktrin-doktrin tasawuf di ajarkan
melalui tanda-tanda, sebagimana sekarang juga dilakukan terhadap bagian-bagian
yang berisi okultisme. Mereka yang sudah mahir akan mampu berbicara satu sama
lain dengan tanda-tanda, tanpa mengucapkan sebuah kata pun. Dzun Nun adalah
orang yang pertama kali merumuskan doktrin-doktrinnya melalui kata-kata. Junaid
dari Baghdad juga mensistematisasi hal yang sama. Abu Bakar Shibli adalah orang
yang menyerukan hal serupa dari mimbar masjid. Sebagaimana juga Socrates yang
menurunkan filsafatnya dari “langit” ke dunia. Hal serupa juga dapat ditemukan
pada karya tulis Abul Qasim al-Qusyairi dalam risalahnya: Risala-i-Qusyairiyah
fi ilm-ut-Tasawuf.[11]
b.
Pemikiran Al-Qusyairi
1.
Mengembalikan Tasawuf ke
Landasan Ahlussunnah
Seandaikan karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi
dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia cenderung
mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus
Sunnah , sebagimana pernyatannya, “ketauhilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya
para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhidyang benar,
sehingga terpeliharah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka
lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak
tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama,
dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya.
Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah
hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin
mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta
gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa yang
tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincir kaki yang tertipu kedalam jurang kehancurannya.”,
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut
terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat
ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan,
khususnya sifat baharunya. Bakan dengan konotasi lain, secara terang-terangan
Al-Qusyairi mengkritik mereka, “Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas
dariperbudakan sebagai belenggu dan berhasil mencapai realita-realitas rasa
penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang
Maha Besar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementar mereka
dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka tidak mencela maupun
melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka
disingkapkan rahasia-rahasia keesaan dan setelah fana, mereka pun tetap
memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempatbergantung pada sesuatu….”
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi
pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian
orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang
sama bertentangan dengan tindakan mereka. Ia menekankan bahwa
kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah,
lebuh penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagimana perkatannya, “Duhai saudaraku!
Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat
(pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan,
niscaya tampak keburukan para sufi yang megada-ada dalam berpakaian - setiap
tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri
dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu
bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang batin…
setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-sunnah adalah
pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; setiap pengenalan terhadapa Allah yang
tidak dibarengi kerendahan hati maupuin kelurusan jiwa adalah palsu dan
bukannya pengenalan terhadap Allah.”
2.
Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas,
Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah,
“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut
telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut,
kecuali bekas-bekas mereka.”
Kemah itu hanya serua kemah mereka.
Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.
Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan
ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang
menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti
perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah
kesederhanaan hidup. Ketamakan semaki menggelora dan ikatannya semakin
membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-0orang
yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah
halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang
lain dan membuang jauh rasa mau. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan
ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. dan
mereka jatuh dalam pelukan nfsu suahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan
hal-hal yang tidak diperbolehkan…….”
Pendapat Al-Qusyairi diatas barangkali terlalu
berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa
tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama,
baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-Qsyairi menyatakan bahwa ia
menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa
jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok
tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya.
Risalahnya itu, menurutnya, sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa
tasawuf pada masanya.
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan
tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan
mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Dia menolak
terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat
ke-Tuhanan, khususnya sifat qodim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan khususnya
sifat hadis-Nya. Dari sini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi
kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu
Al-Asy’ariyayah, yang nantinya akan merujuk paada gagasan Al-Qusyairi.[12]
Dari uraian diatas, tampak jelas bahwa pengembalian arah
tasawuf, munurut Al-Qsyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah
Wal Jama’ah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti para
sufi Sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah yang sebagaimana
diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah
pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang dirafiliasi pada
aliran yang sama , yaitu Al-Asy’ariyah yang nanti akan merujuk pada gagasannya
itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibimaupun Al-Junaid, secara
melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan
yang ganjil.
Selian dari ketiga hal
diatas, Al-Qusyairi juga memberikan pandangannya kepada beberapa
istilah yang ada dalam tasawuf, seperti fana’dan baqa’,
wara’, syari’at dan hakikat:
a.
Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal[13],
yaitu mengenai fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi
mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya sifat-sifat
tercela,sedangkan baqa’adalah jelasnya sifat-sifat
terpuji. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela,
maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan
adalah sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi.
Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri dengan
segala upayanya, maka Allah akan memberikan anugerah melelui kejernihan
perilakunya, bahkan dengan penyempurnaan tingkah laku tersebut.
b.
Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara’,
menurutnya wara’merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang
bersifat syubhat(sesuatu yang diragukan halal haramnya).
Bersikap wara’ adalah suatu pilihan bagi ahli tarekat.[14]
c.
Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat;
hakikat itu adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan
mata hatinya. Sedangkan syari’at adalah kepastian hokum dalamubudiyah,sebagai
kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam
bentuk kaifiyah lahiriah antara manusia dengan Allah SWT.[15]
Tasawuf sebagi suatu ilmu yang telah berkembang semenjak
pertengahan abad ke dua Hijriah hingga saat ini tentu mmengembangkan bahasa
khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan
penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syari’at” bagi para sufi pengertiannya
selalu di hubungkan dengan “halikat”. Maka menurut kacamata para
sufi syari’at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut
aturan-aturan formal dari pada agama. Jadi, tingkah laku batin seperti
kekhusyukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam
shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari’at. Oleh karena
itu, imam Al-Qusyari dalam risalahnya mengatakan:
“Maka setiap syari’ah tidak di dukung oleh hakikat tidak
akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan dengan
syari’at tentu tidak ada hasilnya.” Syari’at dalam pengertian para
sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi. [16]
Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai
punya kemampuan rohani dan menjadi alat sAtu-satunya untuk ma’rifat pada Dzat
Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Dalam hal ini,
Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya
karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata
manusialah yang tak mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah
al-Qusyairi lebih memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat
ruh dan sir. Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan
ruh merupakan tempat mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk ma’rifat kepada
Dzat Tuhan.[17]
Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah
juga memperngaruhi cara berfikir dari al-Ghazali dalam menyatakan
alasannya, banyak sekali di temukan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari, Muhasibi,
terutama Abu Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan
al-Qusyairi (w. 465 H) pengarang Risalah Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini),
kedua pengarang dari kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir
Al-Ghazali, begitu juga perkataan Nabi Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang
lain.[18]
[3] Rivay
Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme ( Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada Jakarta,1999), hal 96.
[11] Khan Sahib
Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002) h. 141-142
[13] Hasyim
Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2002) h.55
[16] Simuh, Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996) h.9-10
0 komentar:
Posting Komentar